Ki Ageng Cempaluk yang juga punya nama Ki Ageng Joyo Singo atau Ki Ageng
Ngerang, adalah seorang prajurit pilih tanding Kerajaan Pajang dan
Mataram. Namun, ada keterangan lagi bahwa Ki Ageng Cempaluk adalah ayah
dari Joyosingo.
Nama Ki Ageng Ngerang yang
menjadi julukannya bisa dipahami bila Ki Ageng Cempaluk masih ada
hubungannya dengan Ki Ageng Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, putera
Prabu Brawijaya dari Majapahit, dari keturunan ibu.
Sebagaimana
disebut dalam cerita tutur ataupun sejarh rakyat, seorang tokoh biasanya
dipanggil dengan memakai panggilan nama leluhurnya bila yang
bersangkutan memiliki sifat-sifat yang sama, yang disebut "nama nunggak semi".
Nama Ki Ageng Ngerang tokoh tua seangkatan Ki Getas Pendowo, ayah Ki
Ageng Selo yang menurunkan Ki Ageng Ngenis atau Henis dan berputera Ki
Ageng Pemanahan, ayahanda Sultan Mataram pertama, Senopati Sutowijoyo.
Seperti disebut dalam buku Babad Tanah Jawi, diterangkan sebagai berikut:
"Prabu
Brawijaya mempunyai istri (selir) bernma puteri wandan, berputera
laki-laki bernama Raden Bondan Kejawan alias Bondan Surati alias Lembu
Peteng yang kawin dengan Puteri Nawangsih puteri Ki Ageng Tarub,
berputera dua orang, Ki Getas Pendowo yang berputera Ki Ageng Selo.
Anak Ki Bondan Kejawan yang satunya, seorang puteri yang dikawinkan
dengan Ki Ageng Ngerang. Jadi hubungan antara Ki Ageng Getas Pendowo
dengan Ki Ageng Ngerang adalah saudara ipar.
Selanjutnya dengan
disebutnya nama Ki Ageng Ngerang, mengingatkan pada tiga tokoh besar
bersaudara seperguruan, yaitu Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Tingkir dan ki
Ageng Ngerang. Oleh cerita tutur, tokoh Ki Ageng Ngerang ini tidak
tertutup kemungkinan merupakan leluhur Ki Ageng Cempaluk, ayah Joko
bahu, yang kemudian hari bernama Tumengung Bahurekso.
Sedangkan dalam buku Babad Tanah Jawi
diterangkan bahwa: Ki Ageng Selo mempunyai anak enam putri dan satu
orang putra, namanya Ki Ageng Ngenis, berputera Ki Ageng Pemanahan,
berputera Raden Pangeran Bagus, yang tidak lain Sutowijoyo, Panembahan
Senopati.
Bila Catatan Hermannus Johannes de Graaf yang mereferensi dari buku Babad Tanah Jawi itu benar, maka Jaka Bahu atau Tumenggung Bahurekso adalah masih ad hubungan keluarga menyamping trah Mataram. Dengan kata lain Bahurekso memang bangsawan Mataram, hanya saja ia berasal dari pihak ibu.
Sedangkan menurut Amien Budiman, Jaka Bahu sebutan lainnya adalah Ki Bahu,
adalah sahabat dekat atau orang yang dipercaya oleh Pangeran Benowo.
Jaka Bahu lah yang mendampingi Pangeran Benowo mulai dari Pajang,
kemudian pindah kek Jipang dan selanjutnya mengembara hingga ke Kendal
dan Parakan. Oleh Sunan atau Pangeran Benowo, Ki Bahi diserahkan pada
Panembahan Senopati di Mataram sebagai ganti atau wakil dan atas nama
Pangeran Benowo. Bila Panembahan Senopati ada keperluan dengannya, maka
Ki Bahu lah yang menjadi wakilnya, karena memang nenek moyang Ki Bahu
masih ada hubungannya dengan nenek moyang Mataram. Dengan demikian
kedekatan Ki Bahu dengan Pangeran Benowo itu lebih berdasar pada
kesinambungan hubungan erat nenek moyangnya, yaitu antara Ki Ageng
Ngerang dengan Ki Ageng Pengging.
Baik Ki Ageng Cempaluk ataupun Jaka
Bahu memiliki hubungan sangat dekat dengan Panembahan Senopati Ing
Alogo Sayidin Panotogomo Sultan Mataram Sutowijoyo maupun Mahapatih
Mataram, Ki Mondoroko, nama kebesaran Ki Juru Martani. Karena drama
baktinya kepada kerajaan yang besar dan usianya yang cukup tua, Ki Ageng
cempaluk diberikan tanah perdekan
(otonomi) di wilayah Kesesi, sekarang masuk Kabupaten Pekalongan. Hidup
bersama dua anaknya, Joko Bahu dan seorang lagi sebagai anak angkatnya
Anjarwati, dirasakan sebagai anugrah dari Tuhan yang Mahakuasa. Di
padepokan itulah ia menghabiskan masa tuanya dengan penuh syukur pada
Tuhan. Namun sebagai orang yang telah diberi penghargaan, Ki Ageng
cempaluk tetap mencurahkan pikirannya dan sisa-sisa tenaganya untuk
Mataram.
Sebagai seorang prajurit yang hidup di dua masa, yaitu masa
kerajaan Pajang dan Mataram, dan dikenal sebagai prajurit yang mumpuni
dalam bidang kanuragan dan ketataprajaan. Sehingga ia memiliki pewaris
yang bisa melanjutkan pengabdiannya pada kerajaan.
Dituturkan, bahwa
penguasa Kadipaten Kleyangangan (Sekarang Kecamatan Subah, Batang),
Adipati - Pengalasan/Pemajegan - Tumenggung Dipokusumo, berencana
meluaskan wilayah kadipatennya ke arah timur, dengan membuka alas roban,
untuk areal pertanian dan pemukiman. Adipati Dipokusumo, sadar bahwa
membuka alas (hutan) bukan pekerjaan yang mudah dan disadari termasuk
pekerjaan yang keras. Sebuah tugas yang sangat keras dan penuh resiko,
maka ia meminta bantuan Ki Ageng Cempaluk yang terkenal sakti. Karena
usia yang mendekati udzur, maka tugas itu diserahkan pada puteranyan,
Jaka Bahu.
Dengan tetap didampingi oleh Adipati Tumenggung
Dipokusumo, tugas membuat persawahan dan pemukiman dengan membuka alas
(Babat Wono Roban) dilaksanakan dengan baik oleh Jaka Bahu. Atas
keberhasilannya itu, pada akhirnya jaka Bahu menjadi kepercayaa Adipati
Dipokusumo, yang tentu saja keberhasilan itu dilaporkan pada Sultan
Agung Hanyokrokusumo. (dalam buku Bahurekso Tapa, ada nama Jaka Sentanu -
yang kemungkinannya satu nama dengan Ki Dipokusumo).
Berhasil
membuka hutan Roban, Sultan Agung menginginkan ada penambahan areal
persawahan dan pemukiman, dengan cara membuka hutan hutan (alas)
Gambiran, sebuah hutan di sebelah barat Kleyangan, yang lebih gawat
daripada Roban. Dengan menelusuri sungai Sambong yang lebar dan
memanjang dari selatan ke utara, dan selanjutnya menjadi prioritas dan
sasaran pertama yang harus dikerjakan.
Dimulai dengan membuat
bendungan di sungai itu. Kawasan hutan yang telah dikuasai oleh pendekar
keals tinggi, Drubikso, merasa kehidupannya diganggu. Tokoh sakti itu
melakukan perlawanan pada Jaka Bahu. Oleh yang punya cerita disebutkan
bahwa antara kedua tokoh itu sama-sama memiliki daya tempur yang luar
biasa. Drubikso yang punya aji guntur geni berhasil dikalahkan. Drubikso dan Jaka Bahu saling memukul dengan galah atau watang (embat-embatan watang, Jawa). Tempat pertarungan kedua tokoh itu pada akhirnya disebut (berasal dari kata Batangembat-embatan watang).
Hutan
gambiran merupakan keberhasilan Jaka Bahu kali kedua, sekarang ini
tepatnya di daerah Sambong, Batang. Sedangkan pembahasan taktik dan
strategi untuk mengalahkan Drubikso, sekarang bernama Dracik yang berasal dari kata diracik.
Dan keberhasilannya membuka hutan Gambiran ini merupakan kado
persembahan terhadap tahun pertama pemerintahan Sultan Agung (1613).
Pada
akhirnya Sultan Agung mengutus putera Mataram, Ki Mandurorejo, untuk
menata kembali daerah Kleyangan sepeninggal Ki Dipokusumo. Dari sinilah
awal perkenalan Jaka Bahu dengan Ki Mandurorejo putera Ki Manduronegoro,
yang berarti cucu Ki Patih Mondoroko, yang berarti juga masih saudara
dekat dengan Sultan Agung, bahkan disebutnya sebagai mertua Sultan
Agung.
Seperti disebut dalam sejarah Kabupaten Pekalongan/Batang,
Tumenggung Mandurorejo diangkat menjadi Adipati pad tahun 1922. Bila
diruntut dengan cerita-cerita di atas, maka sembilan tahun kemudian
setelah hutan Gambiran bahkan di atas angka sepuluh tahun setelah alas
Roban dibuka menjadi perkampungan oleh Bahurekso, Tumenggung Mandurorejo
menduduki Pekalongan/batang sebagai adipati.
Atas jasa-jasanya itu,
pada tahun yang tidak berselang lama setelah Sultan Agung dinobatkan
sebagai sultan, Jaka Bahu diberi penghargaan atas jasa kerja kerasnya,
menjadi Adipati (penguasa) Kendal,
dengan pangkat Tumenggung (1614). Tahun penobatan ini memang menjadi
perdebatan bahkan belum diyakini. Namun, catatan De Graaf, sejarawan
Belanda yang khusus menulis javanologi menyebut bahwa pada tahun 1915,
Kendal sudah ada seorang gubernur bernama Bahurekso.
Dengan
diangkatnya Tumenggung Bahurekso sebagai penguasa Kadipaten Kendal, maka
secara hirarkhi, Kadipaten Kendal di bawah langsung kerajaan Mataram.
Sebuah karya yang dihias di daerah sendiri (Kabupaten Batang sekarang
ini) sedangkan sebagai penghargaannya menjadi penguasa daerah lain.
Sedangkan daerah yang dibangunnya (sebelum menjadi adipati) pada
akhirnya bernama Kadipaten Pekalongan (termasuk Batang), oleh Sultan
Mataram diberikan kepada Mandurorejo.
Inin artinya bahwa Ki
Mandurorejo datang ke daerah itu, tatanan pemerintahan sudah tertata
rapi, dan bangunan-bangunan sebagai cikal bakal pemerintahan telah ada.
Dengan berdasarkan kepentingan pertahanan kerajaan Mataram, maka oleh
Bahurekso dan atas persetujuan Sultan Mataram, menjadikan wilayah
Kaliwungu sebagai alternatif yang terbaik sebagai pusat pemerintahan.
Sebutan berikutnya Kadipaten kendal di Kaliwungu. Begitu seterusnya
hingga 1811, pemerintahan dipindahkan ke kota Kendal seperti sekarang
ini.
dalam sejarah Batang sebagai ditulis oleh R. Sunaryo Basuki,
ataupun catatan-catatan Amien Budiman, bahurekso memang pernah
memerintah Kabupaten Pekalongan sebagai pejabat kerajaan. Selanjutnya
oleh R. Sunaryo Basuki juga dituturkan, ketika itu ia menunjuk Raden Tjilik atau Raden Prawiro,
seorang ulama masih keturunan ulama Sedayu, Lamongan Jawa Timur, yaitu
Sunan Nur atau Sunan Sendang sebagai Ki Ageng di Batang/Ki Ageng Gede
Batang. Hanya saja keberadaannya di Pekalongan/Batang sebagai pejabat
kerajaan, maka nama Bahureksotidak diabadikan bahkan tercatat sebagai
Bupati Pekalongan atau di Batang.
Bila diurut kapan peristiwa itu
terjadi, rasanya memang tidak sulit yaiut sebelum tahun 1614. Sebab,
Mandurorejo diaingkat sebagi Bupati batang pad hari Senin pon, 8
September 1614 (Jumat Kliwon(?). Hanya saja catatan di Pekalongan
menyebutkan bahwa walaupun Mandurorejo menjadi bupati/penguasa di Batang
tahun 1614, tetapi di Pekalongan tercatat tahun 1622/1623 Pengeran
Mandurorejo dan adiknya (Tumenggung Upasanta) menjadi adipati/penguasa
Pekalongan. Kedua daerah itu merupakan hasil kerja keras Bahurekso.
Pekalongan berasal dari kata "kalong". Cerita tuturnya, di tempat itulah Bahurekso melakukan "topo ngalong",
menggantung di pohon dan makannya hanya buah-buahan, seperti kalong,
begitu masyarakat menyebut. Usaha bertapa Bahurekso ini sehubungan
dengan pekerjaan membuat perkampungan dengan membuka hutan Gambiran.
Tidak berlebihan jika Bahurekso pada akhirnya berhasil membangun tiga daerah pemerintahan sekaligus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar