BANDUNG Bondowoso menyusun batu dan menegakkan candi, beratus-ratus,
sampai lewat tengah malam. Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia
dengar suara-suara pagi datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak
berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.
Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang sebuah cerita kegagalan.
Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat
memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah
dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan
kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan lagi orang yang merdeka. Tak
mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.
Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan mau
menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu
malam.
Bandung Bondowoso setuju.
Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda
Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang ingin bercerita bahwa
tiap kemenangan selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di
dunia. Di Prambanan dan di luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan
tak pernah memadai, dan ada yang minus dalam tiap takhta.
Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang
ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka. Ia bisa menuntut
dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima
syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu.
Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan
memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke
angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh
dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa membaca
kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15—tak merasakan beban, tak berpikir
tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan
diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.
Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat
itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil
membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup
membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu
mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam
posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui
batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di
luar itu—yang lain yang memandang ke arahnya.
Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada sebuah senja ia
berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak
memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.
”Untuk apa?”
Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan
berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang
ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang—dan melihat wajahnya
yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi
fasih—ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat
para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan
Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya
melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama
setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang
bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum
dinodai.
Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang menggerakkan perang.
Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh
para pendekar, dan lahir penulis tragedi.
”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.
”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”
”Dalam satu malam?”
”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”
Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut
yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang
dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.
Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam
adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya,
dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas
apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan
sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000
janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih
sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak
terhingga”.
Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau
yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat
meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus
membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan
relief yang menakjubkan.
Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”?
Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan
tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan
batas—yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?
Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita
kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah
dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000
candi—dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi
ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.
Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar